Indonesia Darurat Bullying, 3 Tahun Terakhir Melonjak di Kalangan Pelajar

 

Indonesia Darurat Bullying, 3 Tahun Terakhir Melonjak di Kalangan Pelajar


Likaliku.com -  Melonjak secara signifikan selama 3 tahun terakhir, Indonesia masuki darurat bullying (perundungan-red) di kalangan pelajar.

Diketahui, Berdasarkan Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan peningkatan signifikan kasus kekerasan dan perundungan terhadap anak di Indonesia sepanjang 2024 hingga awal 2025, khususnya di lingkungan pendidikan. 

Berdasarkan laporan JPPI, jumlah kasus kekerasan di sekolah meningkat tajam dari 285 kasus pada 2023 menjadi 573 kasus pada 2024 atau naik lebih dari 100 persen. Sebagian besar kasus yang dilaporkan merupakan perundungan fisik, seperti pemukulan dan penendangan yang mencapai sekitar 55,5 persen dari total kejadian.

Sementara itu, data KPAI menunjukkan tren serupa. Sepanjang 2024 tercatat 2.057 laporan kasus perlindungan anak, mencakup berbagai bentuk kekerasan dengan 41 kasus di antaranya merupakan kejahatan digital, termasuk cyberbullying dan pornografi anak. 

Pada awal 2024 saja, KPAI sudah menerima 141 aduan kekerasan, di mana sekitar 35 persen di antaranya terjadi di satuan pendidikan. Selain itu, terdapat 265 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang sebagian juga terjadi di lembaga pendidikan.

Selain itu, Hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 juga memperlihatkan bahwa sekitar 41 persen siswa di Indonesia pernah mengalami perundungan di lingkungan sekolah. 

Bahkan dalam catatan KPAI juga, sebanyak 37 anak mengakhiri hidupnya selama 2023 akibat tekanan sosial dan kekerasan yang dialami, baik secara langsung maupun melalui dunia maya.

Perundungan berdampak luas terhadap kondisi psikologis, sosial, dan akademik anak. Sejumlah psikolog mencatat bahwa korban bullying rentan mengalami depresi, kecemasan, kehilangan kepercayaan diri, hingga gangguan stres pascatrauma Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Bahkan saat ini dalam sepekan terakhir, publik dikejutkan oleh dua kasus memilukan : bom rakitan di salah satu sekolah di Jakarta yang diduga dilakukan oleh korban bullying, serta kasus bunuh diri seorang siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Sukabumi akibat perundungan yang terus-menerus dialaminya. Di saat yang sama, seorang siswa SMP Negeri 19 Tangerang Selatan berinisial MH (13) juga mengalami luka fisik dan trauma serius akibat tindakan serupa, bahkan saat ini MH (Inisial-red) dikabarkan telah meninggal dunia.

Menanggapi hal tersebut, Akademisi Universitas Yuppentek Indonesia (UYI) asal Kota Tangerang, merasa miris atas melonjaknya kasus bullying di Indonesia saat ini.

"Saya secara pribadi kalau melihat dari perkembangannya dari isu isu yang tadi di sebutkan itukan prihatin lah ya, itu terjadi di level sekolah sekolah menengah inikan diluar dugaan kita dan diluar dari prediksi kita sampai sejauh itu, tapi ternyata dengan kehidupan distrubsi tekhnologi dan informasi sebagainya ternyata kondisi anak anak murid kita di tingkat sekolah menengah ini ya sudah sedemikian rupa dan penyimpangan- penyimpangan sosial," kata Dr Bambang Kurniawan, kepada Himpunan Wartawan Tangerang, saat dijumpai di halaman Universitas Yuppentek Indonesia.

Dirinya meminta kedepannya sekolah bukan hanya menjadi tempat untuk menimba ilmu saja.

"Harapan saya kedepannya para sekolah bukan lagi hanya sebagai wujud sebuah tempat untuk menuntut ilmu aja, tapi juga bagaimana sekolah dapat membangun iklim budaya didalamnya dengan nilai nilai budaya yang seperti saling empati, dan itu jangan disepelekan untuk anak kedepannya nanti," ujarnya.

Dirinya juga berharap, Hal ini perlu menjadi perhatian khusus untuk para orang tua, guru, masyarakat, aparat penegak hukum dan pemerintah khususnya dinas terkait, agar hal serupa dapat diminimalisir dan tidak terulang kembali di Indonesia.


Sumber : Tim /Hiwata

0 Komentar