Likaliku.com - Lebih dari lima dekade setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, narasi resmi tentang siapa dalang sebenarnya masih menyisakan tanda tanya besar. Selama 32 tahun berkuasa, Orde Baru menegaskan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah pelaku tunggal kudeta berdarah. Cerita itu disebarkan melalui film wajib tonton Pengkhianatan G30S/PKI, kurikulum sekolah, hingga media massa.
Namun, buku G30S: Sejarah yang Digelapkan, Tangan Berdarah CIA dan Rezim Suharto karya Harsutejo menawarkan pandangan berbeda. Penulis sekaligus akademisi ini mengajak pembaca melihat sisi lain yang selama ini ditutupi: keterlibatan asing, intrik militer, serta penderitaan korban yang terpinggirkan dari sejarah resmi.
Sejarah Versi Pemenang
Menurut Harsutejo, apa yang diajarkan selama puluhan tahun hanyalah “sejarah pemenang”. Tuduhan terhadap PKI dipakai sebagai alat politik untuk melegitimasi lahirnya rezim baru. Narasi itu begitu dominan hingga suara-suara alternatif, termasuk dari para penyintas, tak pernah mendapat ruang.
“Sejarah resmi adalah sejarah yang digelapkan,” tulis Harsutejo. Baginya, banyak fakta penting sengaja dihapus, sementara propaganda dikerahkan untuk menanamkan kebencian massal terhadap kelompok tertentu.
Bayang-Bayang CIA dan Perang Dingin
Salah satu bagian paling kontroversial dalam buku ini adalah dugaan keterlibatan Amerika Serikat melalui CIA. Latar belakangnya jelas: Perang Dingin. Washington memandang Indonesia sebagai negara strategis, dan kedekatan Soekarno dengan blok Timur dianggap ancaman.
PKI, yang saat itu menjadi partai komunis terbesar di luar Tiongkok dan Uni Soviet, memperkuat ketakutan itu. Harsutejo menuding, dukungan logistik, informasi intelijen, bahkan daftar nama target pembersihan mengalir dari Barat ke kelompok militer Indonesia yang anti-komunis.
Intrik di Dalam Negeri
Namun G30S tak bisa dilihat hanya sebagai operasi asing. Di dalam negeri, situasi politik juga sangat rapuh. Soekarno berusaha menjaga keseimbangan antara kekuatan Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom). Sementara itu, Angkatan Darat terbelah dengan kepentingan yang berbeda-beda.
Suharto, yang kala itu menjabat Panglima Kostrad, digambarkan Harsutejo sebagai sosok yang jeli membaca peluang. Dari pusaran krisis, ia muncul sebagai pemenang politik. “G30S adalah momentum yang dimanfaatkan Suharto untuk naik ke tampuk kekuasaan,” tegas Harsutejo.
Tragedi Kemanusiaan 1965
Peristiwa pasca-G30S lebih mengerikan daripada kudeta itu sendiri. Ratusan ribu orang dibantai, jutaan lainnya dipenjara atau dikucilkan tanpa proses hukum. Banyak keluarga kehilangan anggota, sementara stigma “eks-PKI” melekat hingga generasi berikutnya.
Harsutejo menyebutnya sebagai “genosida politik” terbesar abad ke-20 di Asia Tenggara. Namun, tragedi itu tak pernah diadili, bahkan cenderung dilupakan.
Sejarah yang Perlu Dibuka Kembali
Melalui bukunya, Harsutejo menyerukan rekonstruksi ulang sejarah 1965. Menurutnya, bangsa Indonesia tak bisa terus hidup dalam bayang-bayang propaganda. Hanya dengan membuka dokumen, mendengar kesaksian korban, dan membaca berbagai sumber secara kritis, kebenaran dapat didekati.
Bagi Harsutejo, mengungkap “sejarah yang digelapkan” bukan sekadar urusan akademis. Ia adalah langkah moral untuk menyembuhkan luka bangsa, memberikan pengakuan kepada korban, serta mencegah tragedi serupa terulang.
Menggugat Ingatan Kolektif
Buku ini, meski menuai pro dan kontra, menghadirkan tantangan besar bagi ingatan kolektif bangsa. Ia menegaskan bahwa peristiwa G30S jauh lebih kompleks daripada sekadar dalih “PKI dalang tunggal”. Ada intrik politik domestik, intervensi asing, dan penderitaan rakyat yang terlalu lama dikubur.
Sejarah, tulis Harsutejo, tak boleh terus digelapkan. Ia harus dibuka, ditulis ulang dengan jujur, dan dijadikan pelajaran bagi generasi mendatang.
Kesimpulan
G30S: Sejarah yang Digelapkan adalah buku penting untuk memahami bahwa sejarah Indonesia tak pernah hitam putih. Ia penuh intrik, kepentingan, dan luka kemanusiaan. Dengan membacanya, publik diajak untuk menolak indoktrinasi tunggal, sekaligus menyadari bahwa kebenaran sejarah adalah hak bangsa.
Penulis : Rosyid Warisman
(Aktivis Prodem dan Akedemisi)
0 Komentar